Contoh Makalah tentang kurban (incomplete)



BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Idul Adha merupakan salah satu hari raya yang diperingati oleh umat islam di seluruh dunia pada tanggal 10 Dzulhijah. Hal ini berawal dari kisah Nabi Ibrahim yang mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih nabi Ismail. Pada akhirnya, Allah memerintahkan malaikat Jibril untuk menggantinya dengan seekor domba. Pada saat itu, diriwayatkan bahwa alam semesta dan seluruh isinya mengucap takbir demi mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran nabi Ismail dan nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah yang berat. Sungguh berat hingga bahkan pedang yang digunakan nabi Ibrahim bingung harus berbuat apa karena di satu sisi nabi Ibrahim ingin menyembelih nabi Ismail demi menuruti perintah Allah SWT, sementara Allah SWT memerintahkan agar pedang tersebut tidak menyembelihnya. Dalam pelaksanaannya, Idul Adha atau Hari Raya Kurban memiliki ritual yang beraneka ragam sesuai dengan kebudayaan yang berlaku di masyarakat setempat. Hal itu disebabkan oleh ritual Kurban yang mengharuskan semua komponen dalam masyarakat bahu-membahu sehingga menghasilkan interaksi di kalangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan yang merupakan hasil dari pola pikir manusia.
B.       Rumusan masalah
a.       Apakah pengertian Kurban?
b.      Bagaimanakah hukum berkurban?
c.       Apakah korelasi antara pelaksanaan Idul Adha dengan kebudaayaan masyarakat setempat (Desa Bakalan)?
C.       Tujuan
a.       Dapat mengetahui pengertian Kurban
b.      Dapat mengetahui hukum berkurban
c.       Dapat mengetahui korelasi antara pelaksanaan Idul Adha dengan kebudaayaan masyarakat setempat


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kurban
Kurban berasal dari kata dalam bahasa Arab, “Qurban”  (قربان) yang berarti dekat. Kurban juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi atau kerbau, dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha atau hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.
B.     Hukum Berkurban
Hukum berkurban adalah Sunnah Muakkadah, bukan wajib sesuai dengan firman Allah;
{الكوثر: 2}    فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 
Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (Al-Kautsar;2)
Perintah Shalat dalam ayat di atas bersifat umum, mencakup Shalat wajib dan Shalat Sunnah sehingga tercakup pula Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Perintah berkurban juga bersifat umum yang mencakup kurban wajib, seperti Al-Hadyu (الْهَدْيُ) karena Haji Tamattu’ mapupun kurban Sunnah seperti Udhiyah (اْلأُضْحِيَةُ) yang dilakukan kaum Muslimin di luar tanah suci (Mekah). Karena itu, ayat ini menjadi dalil perintah berkurban, yang menunjukkan adanya dorongan dari pembuat Syariat sehingga digolongkan dalam amal yang bernilai Ma’ruf.
Terdapat beberapa sahabat Rasulullah وَسَلَّم صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ yang sengaja meninggalkan kurban supaya tidak dianggap bahwa berkurban adalah wajib. Seperti dalam hadits;
 معرفة السنن والآثار للبيهقي 15/ 126، بترقيم الشاملة آليا)
قال الشافعي : وقد « بلغنا أن أبا بكر الصديق وعمر رضي الله عنهما كانا لا يضحيان كراهية أن يقتدى بهما ، فيظن من رآهما أنها واجبة »
“As-Syafi’I berkata: Telah sampai kepada kami bahwa Abu Bakar dan Umar tidak berkurban karena tidak suka diteladani sehingga orang yang melihat beliau berdua menduga bahwa berkurban itu wajib” (H.R. Baihaqy)
Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري17/ 267
عَنْ أَنَسٍ قَالَ
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
Dari Anas dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor domba yang warna putihnya lebih dominan di banding warna hitamnya, dan bertanduk, beliau menyembelih domba tersebut dengan tangan beliau sendiri sambil menyebut nama Allah dan bertakbir dan meletakkan kaki beliau di atas sisi leher domba tersebut.” (H.R.Bukhari)
Beliau juga memuji penyembelihan hewan kurban yang dilakukan setelah Shalat ‘Ied dan mensifatinya sebagai Ibadah yang sempurna. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري 17/ 234
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Al Bara`, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menyembelih (hewan kurban) setelah Shalat (Ied) maka ibadah kurbannya telah sempurna dan dia telah melaksanakan sunnah kaum Muslimin dengan tepat.” (H.R.Bukhari)
Hadits di atas juga menjadi rujukan bahwa pelaksanaan peyembelihan hewan kurban akan lebih afdhol jika selepas melaksanakan sholat Ied dan bagi yang berkurban hendaknya tidak mencukur rambutnya tau memotong kukunya sebelum melakukkan kurban sesuai dengan hadits ;

صحيح مسلم (10/ 169)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika telah tiba sepuluh (dzul Hijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun.” (H.R.Muslim)
C.     Korelasi Pelaksanaan Hari Raya Idul Adha dengan Kebudayaan
Pada dasarnya perayaan hari raya diberbagai ajaran agama memiliki dua inti, yaitu ritual dan sosial sehingga jelas bahwa ketika diadakan perayaan hari raya terdapat pula kontak budaya di dalamnya. Dalam perayaannya tentu terdapat urutan ritual yang berlaku. Dalam perayaan Idul Adha, biasanya dimulai dengan malam takbiran, kemudian pelaksanaan sholat Idul Adha yang setelah itu dilaksanakan penyembelihan hewan kurban. Dari keseluruhan ritual tersebut memposisikan masyarakat untuk bebaur dengan yang lain, bertindak secara gotong-royong yang tentunya perlu adanya toleransi di dalamnya mengingat masyarakat di sekitar kita adalah masyarakat majemuk. Di Desa Bakalan Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo contohnya, pada malam takbiran orang-orang berbondong-bondong ke masjid sejak adzan maghrib dikumandangkan. Jumlah orang yang berjamaahpun meningkat drastis kala itu. Masyarakat yang berbondong-bondong datang, silih berganti mengumandangkan takbir. Takbir kemudian mengisi seluruh penjuru desa yang tentu menambah khusyuk suasana malam takbiran. Seusai sholat berjamaah, kemudian bersalam-salaman sebagai pertanda memohon maaf. Dari situlah kebersamaan sangat terasa dan mungkin akan berbeda jauh dengan hal yang terjadi dengan masyarakat perkotaan yang sarat akan kebersamaan. Masyarakat desa cenderung mengutamakan kebersamaan dan gotong-royong dan mengesampingkan sifat individualis mereka.
Pada esok harinya, masyarakat beramai-ramai berjalan ke tanah lapang yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari tempat tinggal mereka. Ketika berpapasan, mereka tak lupa untuk menyapa. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa masyarakat setempat cenderung ramah dan menyukai kebersamaan sehingga jarak dua kilometer tidak menjadi alasan mereka untuk tidak berjalan bersama menuju tanah lapang untuk menunaikan shalat Ied. Saya semakin merasakan atmosfer kebersamaan itu, ketika telah sampai di tanah lapang. Disana orang-orang berkkumpul dari berbagai desa. Sebagian orang memilih untuk membawa tikar dari rumah, mengingat panitia tidak menyediakan tikar sebagai alas untuk melaksanakan sholat. Mereka yang membawa tikar, tidak keberatan untuk berbagi tikarnya. Selain itu tegur sapa dan obrolan-obrolan singkatpun terjadi. Disinilah budaya kembali terjadi, dengan saling menyapa dan obrolan kecil menunggu sholat Ied dimulai. Setelah melaksanakan sholat mereka menyisihkan uang untuk memberi infaq. Padahal mayoritas masyarakat setempat berasal dari golongan menengah ke bawah. Namun kondisi tersebut tidak menyurutkan langkah mereka untuk berbagi. Dari peristiwa tersebut kita dapat melihat bahwa kondisi ekonomi seseorang tidak harus mutlak menghalangi seseorang untuk berbagi karena berbagi tidak berdasar pada nominal. Masyarakat desa yang rela menolong, ramah dan suka bergotong royong itulah yang menjadikan masyarakat desa lebih harmonis. Mereka sering melaksanakan interaksi yang menimbulkan kontak budaya yang menuntut mereka untuk bisa bertoleransi dengan keadaan yang ada. Tidak berhenti pada saat sholat Ied, kebersamaan dan gotong-royong masyarakatpun terjadi lagi ketika pelaksanaan penyembelihan hewan kurban. Sementara ibu-ibu mempersiapkan hidangan, kaum bapak dan pemuda menyembelih hewan kurban. Pemuda selalu turut andil dalam kegiatan di masyarakat sehingga setiap sebulan sekali pemuda dan pemudi setempat melkasanakan perkumpulan untuk merencanakan kegiatan yang di dalamya mereka turut serta dan juga mngevaluasi eran mereka dalam masyarakat. Dalam pelaksanaan Idul Adha ini terlihat jelas bahwa terdapat sinergi yang bagus antara golongan tua dan golongan muda untuk bekerjasama. Budaya gotong-royong kembali terlihat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Narratives+Indonesian Translation+Generic Structure

Explanation Text

Puisi : GarudaKu tetaplah Mengangkasa diangkasa raya.. kami Garuda mudamu kan mengikuti jejakmu...